BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 14 Februari 2011

Fariduddin `Attar,

Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi . Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 506 H/1119 dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Umar Khayyam) dan meninggal sekitar tahun 607 H/1220 di Syaikhuhah dalam usia yang amat lanjut. Sebagian besar dari apa yang diketahui tentang dirinya bersifat legendaris, juga kematiannya di tangan seorang perajurit Jenghis Khan. Dari catatan kenang-kenangan pribadinya yang tersebar di antara tulisan-tulisannya agaknya dapat disebutkan bahwa ia melewatkan tiga belas tahun dari masa mudanya di Meshed. Menurut Dawlatshah, suatu hari Attar sedang duduk dengan seorang kawannya di muka pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Attar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasih mereka, lalu menyuruh darwis itu pergi. Darwis itu berkata, “Baik, tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Attar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?” Attar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis. “Kita tunggu saja,” ksts dsrwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang amat dalam di hati Attar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syaikh Bukn-ud-din yang terkenal, dan kemudian dilanjutkan kepada sufi Abu Sa'id bin Abil Khair. Mulailah ia mempelajari sistem pemikiran sufi, dalam teori dan praktek. Selama tiga puluh sembilah tahun ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di pemukiman-pemukiman para syaikh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita. Kemudian ia pun kembali ke Nisyapur di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pemikiran sufi dibandingkan dengan dua ratus ribu sajak dan banyak karya prosa. Ia hidup sebelum Jalaluddin Rumi. Ditanya siapa yang lebih pandai diantara keduanya itu, seorang sufi mengatakan, “Rumi membumbung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata; Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut.” Rumi mengatakan,”Attar ialah jiwa itu sendiri”. Setelah Attar menyelesaikan kajian tasawufnya dengan kedua gurunya itu, ia banyak membaca kitab-kitab tasawuf seperti Hikayat al-Masyaikh karya Abu Muhammad Ja'far bin Muhammad al-Khuldi (wafat 348 H/959), kitab al-Luma karangan Abu Nasser Abdullah bin Ali al-Sarraj (wafat 378/988), kitab Thabaqat al-Shufiyah karangan Abdurrahman Muhammad bin al-Husein al-Sulami (wafat 412 H/1021), kitab Hilyatul Aulia karangan Abu Na'im al-Asfihani (wafat 430 H/1038), kitab al-Risalah karangan Abul Qasim al-Qusyairi (wafat 465 H/1072), kitab Kasyf al-Mahjub karangan al-Hujwiri (wafat 467 H/1075) dan kitab-kitab tasawuf lainnya. Sebagaimana sufi-sufi lainnya, ia juga banyak mengadakan perjalanan dan salah satu di antaranya perjalanannya menuju Mekkah menunaikan ibadah haji. Disamping itu ia banyak bergaul dengan kaum sufi di masanya, hidup bersama mereka dan memimpin mereka.
Al-Attar bergelar di kalangan sufi dengan Saitu al-Salikin (Cemeti orang-orang sufi), karena ia mampu memimpin mereka berada dalam petunjuk suci dan dapat membakar cinta mereka dalam menuangkan kasih rindu mereka ke dalam karya-karya puisi dan prosa ketuhanan yang indah.
Karya-karya Fariduddin al-Attar berjumlah 114 judul, berbentuk puisi dan prosa dan seluruhnya berkaitan erat dengan ajaran-ajaran tasawuf dan kehidupan para sufi yang jatuh cinta kepada Tuhan. Diantara karya-karya al-Attar antara lain :

• Manthiq al-Thair

• Asrar Nameh

• Tazkiratul Aulia

Dalam Manthiq al-Thair , secara simbolis diceritakan perjalanan manusia menuju tuhan atas dasar keikhlasan dan kecintaan yang murni. Para burung yang melakukan perjalanan abadi itu harus melalui tujuh lembah yang luas dan amat berat, dimulai dengan lembah keraguan, lembah cinta, lembah pemahaman, lembah kebebasan, lembah keesaan murni, lembah ketakjuban dan terakhir adalah lembah kefanaan dan kefakiran. Menurut Attar, perjalanan sufi menuju Tuhan bukan didasarkan kepada pengetahuan akal tetapi didasarkan kepada pengetahuan batin melalui pintu hati yang terdalam. Dalam perjalanan menuju Tuhan, banyak orang yang berhenti dalam argumentasi rasional baik fiqih maupun Ilmu kalam atu lainnya yang sebenarnya masih dalam perjalanan permulaan. Maka perjalanan ini harus dilanjutkan dalam ilmu-ilmu kerohanian hingga mampu melaksanakan mujahadah dan riyadhah. Dalam pandangan attar, pengetahuan rasional itu dapat membantu dalam perjalanan namun bukan merupakan ilmu pamungkas. Dalam Asrar Nameh , Attar menganjurkan kepada kita agar beroleh keselamatan diperlukan menempuh jalan syariat, tarikat dan hakikat secara harmonis dan sempurna atau dengan kata lain, dimulai dengan pencarian dengan akal dan kemudian diikuti dengan kematapan keyakinan dalam hati.
Menurut Attar, dalam memasuki dunia tasawuf, orang tidak boleh tidak harus melaksanakan riyadhah dan mujahadah sebagaimana lazimnya dilaksanakan oleh para sufi. Sementara itu pelaksanaan berbagai pembersihan termasuk pembersihan jiwa, pemurnian niat, keteguhan hati dan kesiapan rohani selama dalam mujahadah dan riyadhah panjang menuju Tuhan. Dalam perjalanan akhir, orang akan sampai dalam maqam fana dan baqa, fana dengan dirinya dan baqa bersama Tuhannya. Dalam kedudukan seperti itu, Attar memperingatkan bahwa sampainya sufi kepada Tuhan itu bukan dalam bentuk ittihad atau hulul.
Dalam rangka memahami seluk-beluk tasawuf dan batas-batasnya serta bimbingan dan hikmah-hikmah para sufi yang dikaji, Attar menulis bukunya Tazkiratul Aulia . Konon, untuk menulis buku ini, Attar telah membaca kitab-kitab tasawuf tidak kurang dari 710 buah. Kitab itu ditulisnya, disamping karena dorongan dari sahabat-sahabatnya, juga karena dia beranggapan bahwa perkataan-perkataan para sufi itu ibarat bala tentara yang besar memperkuat dan membentengi hati orang-orang beriman yang sewaktu-waktu mendapat serangan atau cobaan-cobaan dalam perjalanan panjang dan dapat menumbuhkan dan menyuburkan bibit cinta abadi kepada Tuhan.
Sebagaimana telah diuraikan, perjalanan menuju Tuhan dijalankan melalui jalan hati degan segala kebersihan jasmani dan rohani sebagai pendukungnya. Agar perjalanan selalu dlam gelora dan penuh vitalitas, maka maqam mahabbah (cinta murni) adalah salah satu maqam yang amat penting dan menentukan. Dengan kata lain, perjalanan rohani yang jauh dan berat itu harus didorong dan dibakar terus dengan api cinta yang selalu bergejolak tanpa mengenal henti, ibarat binatang laron yang terbang malam menuju sinar api sampai terbakar karena dorongan cinta sejati.
Kupandang wajah-Mu dengan hati, Bersinar ibarat permukaan lautan, Adalah di sana laut semesta, Yang menyimpan seluruh mutiara? Karena al-Attar jatuh cinta, Hatinya berkobar terus berkobar, Tiap tarikan nafas terdalam, Berkilauan bara menyala.
Melalui riyadhah dan mujahadah, perjalanan menapak setingkat demi setingkat bergerak maju dan gerak maju itu lebih dari yang diperhitungkan karena jazabah yang datang daripada-Nya. Maka perjalanan itu tidak akan jauh bagi yang dikehendaki-Nya. Maka banyak isyarat dan tanda-tanda Ilahi yang ada di sekitar manusia, tetapi manusia banyak terlena atau alpa hingga isyarat dan tanda-tanda Ilahi menjadi asing bagi manusia. Keterlenaan dan kealpaan manusia itu karena pengaruh jasmani dan rohani yang tidak bersih, kelemahan jiwa karena himpitan materi dan kedurhakaan yang menjauhkan rahmat Ilahi. Maka riyadhah dan mujahadah diperlukan melebihi dari biasanya hingga terwujud kebersihan jasmani dan rohani dan jiwa menjadi sensitif dan tajam terhadap tanda dan isyarat ilahiyah itu.

Telah kau tunjukkan tanda untuk mengenal-Mu,

Kau adalah segala yang meliputi ciptaan ini,

Segala yang kulihat, tapi jiwa dalam tubuh,

Terhalang buat menatap-Mu,

Dan kau sembunyikan diri-Mu dalam jiwa suci,

O jiwa dalam jiwa! Rahasia dalam rahasia!

Segala yang ada ini ada dalam kau,

Namun, kau lebih dari segala ini.

Pada tahun 1862 ditemukan sebuah batu nisan di luar Nisyapur, yang didirikan antara tahun 1469 dan 1506 (Sekitar dua ratus lima puluh tahun sepeninggalan Attar). Di nisan itu terukir inskrpsi dalam bahasa Parsi yang berbunyi sebagai berikut :Allah kekal , Dengan nama Allah Yang Pengasih Yang Pengampun

Di sini di tanam Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa orang-orang yang paling sederhana. Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik kakinya akan merupakan kolirium di mata langit; maka syaikh Attar Farid yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dari kaf ke kaf. Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal hingga hari kiamat karena orang yang termasyur ini. Tambang emasnya terdapat di Nisyapur sebab ia dilahirkan di Zarwand di wilayah Gurgan. Ia tinggal di Nisyapur selama delapan puluh tahun, dan tiga puluh dua tahun dari waktu itu dilewatkannya dalam ketenangan. Dalam usia yang sudah amat lanjut ia dikejar-kejar pedang pasukan tentara yang menelan segalanya. Farid tewas di zaman Huluku Khan, terbunuh sebagai syahid dalam pembantaian besar-besaran yang terjadi ketika itu.... Semoga Tuhan Yang Maha Tinggi mempersegar jiwanya! Tinggkatkanlah, o Robbi, kebajikannya.
Makam orang yang mulia ini terletak di sini dalam wilayah pemerintahan Syah Alam, Seri Baginda Sultan Abu Igazi Hesein....
Selebihnya, inskripsi ini menyatakan pujian terhadap Sultan, bila, dan dimana ia meninggal dan dikuburkan. Maha Suci Engkau Ya Allah.... Muliakan lah dan Agungkan lah, serta abadikanlah harum wewangian semerbak hikmah yang tetap segar memasuki relung jiwa para penempuh spirit
Dalam perjalanan masa mereka kemudian mengembangkan doktrin kerohanian yang lebih tinggi yang disebut doktrin cinta ilahi. Menurut mereka hanya cinta (mahbbah wa `ishq) yang dapat membawa seseorang dekat kepada Tuhannya, sebab sifat Tuhan yang . Pada abad-abad itu kesusasteraan sufi bertambah subur perkembangannya dengan munculnya penulis-penulis sufi Parsi terkemuka seperti Sana`i, Abu Sa`id al-Khayr, Khwaja Abdullah Anshari, Baba Kuhi, Baba Tahir, Fariduddin `Attar,

0 komentar: